Selasa, 21 April 2015

Catatan Lama Untuk Kamu

Hei, kamu pendatang baru. Kita berteman sejak setahun yang lalu. Saat itu aku melihat ketulusan dalam dirimu. Kita bercanda, tertawa, membicarakan segala jenis hal, seakan-akan dunia memang ada di genggaman kita. Tak pernah berpikir akan menyayangimu melebihi teman. Kita memang teman, sejak dulu dan sampai nanti. Setiap komentar yang diucapkan teman-teman kita menjuruskan kita untuk bersama, bersama dalam arti berbeda. Waktu itu aku tidak benar-benar paham kenapa mereka beranggapan seperti itu, sebab kedekatan ini murni persahabatan. Aku dengan dirinya, kau dengan wanita-wanita disekelilingmu.
Waktu itu paling tidak seminggu sekali kita keluar bersama, hanya untuk sekedar bercerita sambil menikmati malam diatas roda dua mu. Sms-an pun hanya sekedarnya, tidak ada perhatian dan gombalan. Isinya hanya obrolan standar 2 orang sahabat.
Ingat waktu liburan sekelas ke pantai dan aku jatuh tertidur dipundakmu saat di bus? Aku begitu nyenyaknya tertidur sehingga tak menyadari kepalaku telah menempel di lenganmu. Kau membiarkanku tidur disana. Tahukah kau sebenarnya beberapa kali aku terjaga karna goncangan bus, tapi aku tetap membiarkan kepalaku disana. Rasanya nyaman daripada harus beralih ke sisi sebelahnya yang terdiri dari besi-besi dan kaca. Aku membiarkan diriku tertidur terus di lenganmu, sebab kau sahabatku. Semua teman kita yang berada di bus itu berbisik dan mengamati keadaan kita, memfoto dan menyoraki kita. Aku biasa saja, senang melihat reaksi mereka sebab tidak ada apa-apa diantara kita. Kamu juga, kan?
Tibalah kita di pantai itu, bersama teman sekelas semua berkumpul dan bermain. Ketakutanku terhadap ombak yang berlebihan membuatmu membimbingku ke tengah lautan, menikmati sensasi ketika tubuh diterpa ombak. Kita tertawa, genggaman tanganmu erat kurasakan di tanganku. Telapak tanganmu halus, kau pasti tidak pernah mencuci baju, kan? Aku mengikuti langkahmu menebas air laut. Tanganku dan tanganmu yang bertaut di air itu, membuatku gelisah.
Hal yang sama terjadi ketika kita pulang. Aku kembali tertidur di pundakmu, tapi kali ini aku sengaja.  Namun rasanya tetap gelisah. Berulang kali aku mencoba memejamkan mata, tapi selalu tidak bisa tertidur. Kau tertidur mendongak, lehermu yang jenjang dan berjakun tampak samar diantara siluet lampu jalan yang kadang ada dan kadang tidak. Aku mengamatimu diam-diam, kau tampak macho.
Sekembalinya ke rumah, dengan tubuh yang lelah karena hampir seharian bermain, aku kembali tidak bisa tidur. Flashback potret kita berdua di perjalanan dan di pantai membuatku senyum-senyum sendiri. Aku menggenggam tangan kiriku, tangan yang kau genggam waktu di air itu. Rasanya masih terasa, halus.
Esoknya kehidupan kembali seperti biasa. Tapi aku kembali ingin melihat wajahmu, hei sahabat. Seru rasanya bisa bersama-sama denganmu terus. Ingin rasanya mengulang momen seharian kemarin. Tiba-tiba jantung ini berdetak lebih kencang. Aku hanya terlalu euforia mungkin.
Esok, lusa, esok lusa nya lagi, dan seterusnya keadaan kembali normal. Aku tidak lagi memikirkan keanehan demi keanehan dalam diriku. Aku kembali dengan rutinitasku. Kita masih tetap bercerita. Tiba saatnya kau bercerita mengenai kedekatanmu dengan seorang perempuan yang berbeda fakultas dengan kita. Kembali aku menasihatimu untuk tidak bermain-main lagi. Aku menginginkanmu memiliki pendamping, namun yang kau benar-benar yakini. Hanya itu nasihatku, sahabat.
Tapi-tapi. Heeei, aku tidak ikhlas melihat tanganmu menyentuh kepala perempuan itu! Waktu di lapangan futsal kau melakukannya. Teganya dirimu. Aku langsung buru-buru pulang, tidak tahan melihatnya. Aku benci tanganmu menyentuh kepala siapapun. Itu hanya untukku, hei playboy. :’)
Di rumah aku menyakinkan diri bahwa itu hanya ketidakikhlasan seorang sahabat, ketakutan kau dimiliki orang lain yang bisa saja memuatmu melupakanku sebagai sahabat. Kembali keadaan menjadi normal. Ternyata benar, itu hanya keegoisanku saja.
Kau berkata padaku, “Saat aku akan menembak seorang perempuan, aku pasti akan meminta pendapatmu dulu.” Aku merasa tenang mendengarnya, kau masih menganggapku sahabat. Tapi ketika kau akhirnya jadian dengan perempuan itu tanpa meminta pendapatku dulu, aku menjadi hilang kendali. Aku menuntut janjimu dalam hati. Aku mengataimu Si Pengingkar Janji. Aku marah dan sakit hati.
Rasa marahku semakin berlipat-lipat saat kau menjadi tidak memiliki waktu untukku. Sifat protektifku terhadap sahabat mencuat ke permukaan. Aku benci ketidakprofesionalan. Hingga tibalah waktu disaat aku meledak hebat. Aku katakan aku membencimu!
Bagaimana rasanya tidak bisa bicara denganku selama berhari-hari? Mendadak aku malas denganmu waktu itu. Aku merasa tidak dibutuhkan lagi. Aku pergi, mengalah untuk kehidupanmu yang baru. Meski kau sms berulang kali, meminta maaf, aku tidak tergema. Aku nyaman dengan zonaku membiarkanmu merasa bersalah seperti itu.
Tapi ketika aku tahu kau akan pergi untuk liburan bersama teman-teman lelakimu, aku menjadi sedikit khawatir. Saat itu aku juga akan pulang kampung. Aku takut kemarahan ini berubah menjadi sebuah permusuhan. Aku akhirnya membelikanmu gantungan kunci smiley. Teringat waktu kejadin jatuhnya kunci motormu di Sungai Kapuas. Oh ya, waktu itu pertama kalinya kau memelukku. Aku senang.
Sejak liburan itu kita kembali baikan, bersahabat seperti semula. Tapi kau putus dengan pacar barumu. Aku sedih. Terlebih lagi saat aku tahu bahwa kalian putus karena aku. Pacarmu cemburu denganku. Apakah aku tampak seperti gadis penggoda? Tidak kan? Kita murni berteman. Setidaknya itu yang sama-sama kita akui. Tapi rasa sedih ini beriringan dengan rasa senang, sebab kau kembali jadi milikku. Egoisme dan overprotektif ku menguasai dirimu. Aku senang aku kembali menjadi dominan.
Sejak kau putus kita semakin dekat saja. malah semakin intens berkomunikasi, tidak seperti sebelumnya. Hingga tibalah saat itu, kau mengatakan bahwa kau sebenarnya menyayangiku. Sebelum-sebelumnya kita selalu bercanda menanggapi hal itu, kau pun terkadang mengatakannya dalam konteks bergurau. Itu benaran tidak sih? Atau saat itu kau masih ragu untuk mengatakannya. Apa karna aku telah dimiliki orang lain?
Tapi aku juga merasakan hal yang sama (mantan) sahabatku, aku menyayangimu. Sudah lebih dari teman sekarang.

Kau menyatakannya dan aku menyatakannya di alun-alun. Pulangnya kau menggenggam tanganku untuk kedua kalinya. Rasanya tetap sama dengan saat pertama kali. Halus.