Hei,
kamu pendatang baru. Kita berteman sejak setahun yang lalu. Saat itu aku
melihat ketulusan dalam dirimu. Kita bercanda, tertawa, membicarakan segala
jenis hal, seakan-akan dunia memang ada di genggaman kita. Tak pernah berpikir
akan menyayangimu melebihi teman. Kita memang teman, sejak dulu dan sampai
nanti. Setiap komentar yang diucapkan teman-teman kita menjuruskan kita untuk
bersama, bersama dalam arti berbeda. Waktu itu aku tidak benar-benar paham
kenapa mereka beranggapan seperti itu, sebab kedekatan ini murni persahabatan.
Aku dengan dirinya, kau dengan wanita-wanita disekelilingmu.
Waktu
itu paling tidak seminggu sekali kita keluar bersama, hanya untuk sekedar
bercerita sambil menikmati malam diatas roda dua mu. Sms-an pun hanya
sekedarnya, tidak ada perhatian dan gombalan. Isinya hanya obrolan standar 2
orang sahabat.
Ingat
waktu liburan sekelas ke pantai dan aku jatuh tertidur dipundakmu saat di bus?
Aku begitu nyenyaknya tertidur sehingga tak menyadari kepalaku telah menempel
di lenganmu. Kau membiarkanku tidur disana. Tahukah kau sebenarnya beberapa
kali aku terjaga karna goncangan bus, tapi aku tetap membiarkan kepalaku
disana. Rasanya nyaman daripada harus beralih ke sisi sebelahnya yang terdiri
dari besi-besi dan kaca. Aku membiarkan diriku tertidur terus di lenganmu,
sebab kau sahabatku. Semua teman kita yang berada di bus itu berbisik dan
mengamati keadaan kita, memfoto dan menyoraki kita. Aku biasa saja, senang
melihat reaksi mereka sebab tidak ada apa-apa diantara kita. Kamu juga, kan?
Tibalah
kita di pantai itu, bersama teman sekelas semua berkumpul dan bermain.
Ketakutanku terhadap ombak yang berlebihan membuatmu membimbingku ke tengah
lautan, menikmati sensasi ketika tubuh diterpa ombak. Kita tertawa, genggaman
tanganmu erat kurasakan di tanganku. Telapak tanganmu halus, kau pasti tidak
pernah mencuci baju, kan? Aku mengikuti langkahmu menebas air laut. Tanganku
dan tanganmu yang bertaut di air itu, membuatku gelisah.
Hal
yang sama terjadi ketika kita pulang. Aku kembali tertidur di pundakmu, tapi
kali ini aku sengaja. Namun rasanya
tetap gelisah. Berulang kali aku mencoba memejamkan mata, tapi selalu tidak
bisa tertidur. Kau tertidur mendongak, lehermu yang jenjang dan berjakun tampak
samar diantara siluet lampu jalan yang kadang ada dan kadang tidak. Aku
mengamatimu diam-diam, kau tampak macho.
Sekembalinya
ke rumah, dengan tubuh yang lelah karena hampir seharian bermain, aku kembali
tidak bisa tidur. Flashback potret kita berdua di perjalanan dan di pantai
membuatku senyum-senyum sendiri. Aku menggenggam tangan kiriku, tangan yang kau
genggam waktu di air itu. Rasanya masih terasa, halus.
Esoknya
kehidupan kembali seperti biasa. Tapi aku kembali ingin melihat wajahmu, hei
sahabat. Seru rasanya bisa bersama-sama denganmu terus. Ingin rasanya mengulang
momen seharian kemarin. Tiba-tiba jantung ini berdetak lebih kencang. Aku hanya
terlalu euforia mungkin.
Esok,
lusa, esok lusa nya lagi, dan seterusnya keadaan kembali normal. Aku tidak lagi
memikirkan keanehan demi keanehan dalam diriku. Aku kembali dengan rutinitasku.
Kita masih tetap bercerita. Tiba saatnya kau bercerita mengenai kedekatanmu
dengan seorang perempuan yang berbeda fakultas dengan kita. Kembali aku
menasihatimu untuk tidak bermain-main lagi. Aku menginginkanmu memiliki
pendamping, namun yang kau benar-benar yakini. Hanya itu nasihatku, sahabat.
Tapi-tapi.
Heeei, aku tidak ikhlas melihat tanganmu menyentuh kepala perempuan itu! Waktu
di lapangan futsal kau melakukannya. Teganya dirimu. Aku langsung buru-buru
pulang, tidak tahan melihatnya. Aku benci tanganmu menyentuh kepala siapapun.
Itu hanya untukku, hei playboy. :’)
Di
rumah aku menyakinkan diri bahwa itu hanya ketidakikhlasan seorang sahabat,
ketakutan kau dimiliki orang lain yang bisa saja memuatmu melupakanku sebagai
sahabat. Kembali keadaan menjadi normal. Ternyata benar, itu hanya keegoisanku
saja.
Kau
berkata padaku, “Saat aku akan menembak seorang perempuan, aku pasti akan
meminta pendapatmu dulu.” Aku merasa tenang mendengarnya, kau masih
menganggapku sahabat. Tapi ketika kau akhirnya jadian dengan perempuan itu
tanpa meminta pendapatku dulu, aku menjadi hilang kendali. Aku menuntut janjimu
dalam hati. Aku mengataimu Si Pengingkar Janji. Aku marah dan sakit hati.
Rasa
marahku semakin berlipat-lipat saat kau menjadi tidak memiliki waktu untukku.
Sifat protektifku terhadap sahabat mencuat ke permukaan. Aku benci
ketidakprofesionalan. Hingga tibalah waktu disaat aku meledak hebat. Aku
katakan aku membencimu!
Bagaimana
rasanya tidak bisa bicara denganku selama berhari-hari? Mendadak aku malas
denganmu waktu itu. Aku merasa tidak dibutuhkan lagi. Aku pergi, mengalah untuk
kehidupanmu yang baru. Meski kau sms berulang kali, meminta maaf, aku tidak
tergema. Aku nyaman dengan zonaku membiarkanmu merasa bersalah seperti itu.
Tapi
ketika aku tahu kau akan pergi untuk liburan bersama teman-teman lelakimu, aku
menjadi sedikit khawatir. Saat itu aku juga akan pulang kampung. Aku takut
kemarahan ini berubah menjadi sebuah permusuhan. Aku akhirnya membelikanmu
gantungan kunci smiley. Teringat waktu kejadin jatuhnya kunci motormu di Sungai
Kapuas. Oh ya, waktu itu pertama kalinya kau memelukku. Aku senang.
Sejak
liburan itu kita kembali baikan, bersahabat seperti semula. Tapi kau putus
dengan pacar barumu. Aku sedih. Terlebih lagi saat aku tahu bahwa kalian putus
karena aku. Pacarmu cemburu denganku. Apakah aku tampak seperti gadis penggoda?
Tidak kan? Kita murni berteman. Setidaknya itu yang sama-sama kita akui. Tapi
rasa sedih ini beriringan dengan rasa senang, sebab kau kembali jadi milikku.
Egoisme dan overprotektif ku menguasai dirimu. Aku senang aku kembali menjadi
dominan.
Sejak
kau putus kita semakin dekat saja. malah semakin intens berkomunikasi, tidak
seperti sebelumnya. Hingga tibalah saat itu, kau mengatakan bahwa kau
sebenarnya menyayangiku. Sebelum-sebelumnya kita selalu bercanda menanggapi hal
itu, kau pun terkadang mengatakannya dalam konteks bergurau. Itu benaran tidak
sih? Atau saat itu kau masih ragu untuk mengatakannya. Apa karna aku telah
dimiliki orang lain?
Tapi
aku juga merasakan hal yang sama (mantan) sahabatku, aku menyayangimu. Sudah
lebih dari teman sekarang.
Kau
menyatakannya dan aku menyatakannya di alun-alun. Pulangnya kau menggenggam
tanganku untuk kedua kalinya. Rasanya tetap sama dengan saat pertama kali.
Halus.